PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP ASPEK PERENCANAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA JAKARTA

 

Rustam Hakim

Program Studi Arsitektur Lansekap

FALTL Universitas Trisakti – Jakarta – Indonesia

Email : rustam@trisakti.ac.id, bangrus04@yahoo.com

 

Moch Sarofil Abu Bakar

Assoc. Prof. Department of Landscape Architecture,

Faculty of Built Environment Universiti Teknologi  Malaysia – Malaysia.

Email : b-sarofil@utm.my

 

Foziah bt. Johar

Assoc. Prof. Department of Urban and Regional Planning,

Faculty of Built Environment Universiti Teknologi  Malaysia – Malaysia.

Email : kjpbw@fab.utm.my

 

 

ABSTRAK

Makalah ini mengkaji mengenai persepsi masyarakat terhadap perencanaan ruang terbuka hijau di kota Jakarta. Pembahasan akan dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu aspek yang menyebabkan ruang terbuka hijau kurang berhasil dan mengidentifikasi aspek yang paling dominan yang menghambat perencanaan ruang terbuka hijau ditinjau dari sisi perencanaan, kelembagaan, sumberdaya manusia, koordinasi lembaga dan pendanaannya. Metode yang digunakan adalah dengan penyebaran kuesioner dan wawancara. Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa aspek dominan dalam pengelolaan ruang terbuka hijau di Jakarta adalah aspek perencanaan. 

 

Kata kunci : perencanaan ruang terbuka hijau, persepsi masyarakat

 

 

I.                   PENDAHULUAN

Pemerintah Kota DKI Jakarta menyadari perlunya meningkatkan jumlah ruang terbuka hijau di ibukota. Namun keberhasilan bertambahnya area ruang terbuka hijau kota di lahan kosong justru diikuti dengan lenyapnya ruang terbuka hijau kota ditempat lain. Program tersebut kurang berhasil dikarenakan;

a.       Kurangnya koordinasi antara sejumlah lembaga administrasi yang bertanggung jawab untuk ruang terbuka hijau kota Jakarta. Provinsi Jakarta memiliki sejumlah lembaga yang bertanggung jawab hanya untuk ruang terbuka hijau kota dan tanggung jawab tersebut sering tumpang tindih antara  Dinas Pertamanan, Dinas Kehutanan dan Kantor Pelayanan Pemakaman. Masih kurangnya persamaan persepsi tentang pengertian ruang terbuka hijau sehingga perlu dilakukan upaya pengembangan kerja sama dan kejelasan pembagian wewenang dan kerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing secara lebih mendalam. Sebagai contoh, dilingkungan pemda DKI Jakarta, pada organisasi Dinas Tata Bangunan DKI Jakarta (perda no 15 tahun 1997) mempunyai subdinas Bina Teknis Arsitektur Lingkungan, sementara pada organisasi Dinas Pertamanan (perda no 7 tahun 1997) mempunyai subdinas Teknis Taman Kota dan Taman Rekreasi. Kedua-duanya mempunyai tugas dan wewenang yang hampir bersamaan yakni menata ruang terbuka hijau kota.

 

b.       Dari hasil kajian Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 1982 tentang struktur organisasi dinas pertamanan DKI Jakarta diketahui masih perlu disempurnakan. iaitu adanya ketidak jelasan instansi pengelola rekreasi ruang luar, padahal rekreasi ruang luar termasuk dalam bagian dari ruang terbuka hijau kota. Hal ini akan menyulitkan pelaksanaan pengembangan dan pembinaannya. Hal lainnya adalah berkaitan dengan masalah kebijakan instansi pengelola ruang terbuka hijau di tingkat kecamatan yang hingga saat ini ditemui adanya ketidak jelasan tugas dan kewajiban aparat yang ada baik dari segi kualitas/kuantitas personil, padahal wadah dan aparat dilingkungan ini merupakan ujung tombak. Hal lainnya yang menjadi masalah kelembagaan yakni: belum tersedianya data pokok atau pusat informasi yang dapat mengindentifikasi terjadinya perusakan lingkungan akibat pembangunan kota, kurangnya kemampuan aparatur pemerintahan di bidang ruang terbuka hijau, terbatasnya sarana atau peralatan untuk menyelidik dan mencari bukti adanya kerusakan ruang terbuka hijau, belum serasinya kerjasama antar instansi dalam melaksanakan pembangunan ruang terbuka hijau yang akibatnya banyak berpengaruh terhadap lingkungan, belum adanya petunjuk teknis dari penjabaran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor  1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan.

 

c.       Pengelolaan pengelolaan lahan memegang peran yang sangat penting sekali dalam pembangunan kota, khususnya kota-kota besar yang mengalami pertumbuhan ekonomi sangat cepat seperti kota Jakarta. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di wilayah ini membawa dampak meningkatnya permintaan akan lahan, baik untuk keperluan kegiatan swasta, pemerintah. Kelemahan dan kendala bagi pemda DKI Jakarta untuk membangun prasarana umum seperti ruang terbuka hijau, terbentur pada ketidakmampuan untuk terlibat secara penuh dalam pembuatan pengelolaan lahan perkotaan yang sangat kompleks. Kurangnya pemahaman terhadap faktor geography, faktor sejarah, faktor sosial budaya yang saling terkait satu dengan lainnya, akan membawa dampak berkurangnya daya tarik, serta kenyamanan kota. Oleh karenanya kemampuan sistem pengelolaan pembangunan khususnya di bidang lahan ruang terbuka hijau akan mempunyai arti dan sifat sangat strategis.

 

d.       Belum adanya model sistem informasi lahan, dan sistem informasi pemetaan yang akurat yang dengan mudah dapat memonitor secara cepat beberapa jumlah ruang terbuka hijau yang ada, beberapa jumlah yang terhapus, dan informasi lainnya yang sangat diperlukan bagi “pengambil keputusan” serta kebutuhan informasi lainnya. Sistem ini akan sangat diperlukan sekali untuk pengelolaan dari instansi-instansi yang terkait mulai saat proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring hingga evaluasi dan pengendaliannya dalam rangka pengambilan keputusan,

 

e.       Adanya kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah kota yang ambivalen. Disatu sisi mengakui kepentingan lingkungan hidup, namun disisi lainnya menekankan pada pentingnya sektor perkembangan perekonomian. Para pembuat keputusan menyakini bahwa pelaksanaan konsep keberlanjutan justru akan merusak pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu ketika harus memilih antara mempertahankan ruang terbuka hijau atau memberikan izin pada pembangunan industri, maka yang terakhir biasanya dimenangkan. Salah satu kasus adalah pembangunan jalan tol ke arah bandar udara, yang merusak ruang terbuka hijau pantai utara Jakarta.

 

f.        Ada pendapat bahwa ruang terbuka hijau merupakan lahan cadangan untuk memenuhi tuntutan pertumbuhan kota yang mendesak. Kebutuhan lahan untuk pembangunan ruang terbuka hijau ini akan mengalami kendala sejalan dengan perkembangan nilai lahan, baik secara sosial maupun ekonomi. Kendala ini akan berjalan seiring dengan belum mantapnya ketentuan legalitas yang menyangkut pengaturan, pengendalian dan pengawasan yang juga menyebabkan beberapa bagian dari lahan ruang terbuka hijau kota dimanfaatkan dan dipergunakan secara tidak semestinya.

 

g.       Prosedur AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Analisis Dampak Lingkungan ini diwajibkan oleh undang-undang untuk dilakukan oleh setiap proyek pengembangan besar. Ada tiga pihak yang terlibat yakni pemerintah, pengembang proyek dan konsultan. Perangkat pemerintah sendiri serba terbatas akibat kendala pendanaan, kurangnya pengalaman para pejabat dan lemahnya wewenang yang ada ditangan mereka. Sebagian besar analisis AMDAL ini dikerjakan oleh konsultan yang harusnya independen. Namun karena pendanaan diberikan oleh pengembang proyek maka independensi tidak pernah tercapai.

 

h.       Kekuasaan peradilan tidak cukup independen. Walaupun undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup no 23 tahun 1997 telah di sahkan, namun penerapan keputusan peradilan terhadap pengrusakan Ruang Terbuka Hijau tidak selalu berhasil. Hal ini dikarenakan pemahaman dan pengalaman para hakim terhadap eksistensi ruang terbuka hijau masih sangat terbatas.

 

Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat empat elemen perencanaan pengelolaan yang mempengaruhi ruang terbuka kota yaitu, elemen fisik (Morancho, 2003), ekologis (Costanza et al., 1997; Li et al., 2005), partisipasi (Morancho, 2003; Li et al., 2005) dan keterbukaan (McGill, 2001; Chakrabarty, 2001). Keempat elemen tersebut dijabarkan dalam sejumlah pertanyaan dalam kuesioner yang disebarkan kepada lebih dari 50 responden.

 

 

II.                METODOLOGI

Kajian akan diarahkan kepada pengkajian pengelolaan ruang terbuka hijau kota Jakarta di lima wilayah kotamadya iaitu Kotamadya Jakarta Barat, Kotamadya Jakarta Timur, Kotamadya Jakarta Utara, Kotamadya Jakarta Selatan dan Kotamadya Jakarta Pusat. Kota Jakarta merupakan cerminan daripada kota-kota lainnya di negara Republik Indonesia. Dalam kawasan terdapat berbagai jenis aktifitas kegiatan masyarakat yang sangat berhubungan dengan keberadaan ruang terbuka hijau, Ruang terbuka hijau kota Jakarta, memiliki kawasan ruang terbuka hijau pertamanan, ruang terbuka hijau pertanian dan ruang terbuka hijau khusus dengan pengelolaannya di atur oleh  Dinas Pertamanan, Dinas Kehutanan, Kantor Pelayanan Pemakaman.

 lokasi-pengisian-kuisiner-spss

Gambar 2.1. Batasan lima wilayah kota madya DKI Jakarta, sebagai Kawasan Penyebaran Borang pertanyaan (Sumber: Kajian Lapangan, 2008)

 

 

 

 

Penyebaran borang pertanyaan dilakukan dengan teknik persampelan rambang mudah yang bermaksud penyebaran borang pertanyaan ke setiap kotamadya dilakukan secara bebas. Ini sejalan dengan pernyataan Masri Singarimbun (2005) bahwa persampelan jenis rambang mudah (random sample) ialah pengambilan unit analisis secara bebas. Selepas satu unit itu dipilih unit itu berkemungkinan tidak dipilih lagi. Pemilihan satu unit tidak mengubah kemungkinan unit lain kerana kesemua unit dalam populasi mempunyai kebarangkalian yang sama. Dalam kajian ini jumlah sampel yang terlibat adalah 260 responden dengan paras keyakinan 95% dan ralat sebanyak 5.5%. Kadar tersebut berdasarkan kepada perkiraan dan keyakinan yang telah dibuat oleh De Vaus (Shuhana, 1997). Pemilihan jumlah tersebut berdasarkan kesesuaian kajian ini dengan ambang keyakinan 95% masih boleh diterima validitasnya. Selain itu pemilihan ini juga disebabkan oleh pertimbangan dari segi faktor biaya dan waktu. Untuk mendapatkan data dalam mengolah data, maka dipergunakan questionare tertutup untuk responden dari kategori penerima kebijakan dengan jumlah 260 responden dari populasi 9,720.40 penduduk kota Jakarta dan didistribusikan secara random ke lima wilayah kotamadya yaitu kotamadya Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Jakarta Barat, seperti terlihat pada tabel2.1

Tabel.2.1.  Distribusi Responden Penerima Kebijakan

No

Jenis Responden

Wilayah JAKARTA

Jenis Responden

Jumlah

Responden

Brt

Tim

Pus

Sel

Utara

1.     

Masyarakat Ilmiah/ Perguruan Tinggi

 

Pakar ilmiah dari:

Univ. Trisakti, Jakarta Barat

Univ. Borobudur, Jakarta Timur

Univ. Indonesia, Jakarta Pusat

Institut Teknologi Indonesia Jakarta Selatan

Univ. Tarumanegara, JkrtUtara

Penerima Kebijakan

60

2.     

Masyarakat Profesional

 

Organisasi Profesi IALI, IAI, AKLANI,

 

Penerima Kebijakan

30

3.     

Masyarakat Kota Jakarta,

 

15

15

15

15

15

Penerima Kebijakan

75

4.     

Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM

 

Masyarakat Transparansi Ind

Yayasan Hijau Indonesia

 

 

Penerima Kebijakan

20

5.     

Masyarakat Dunia Usaha/ Pedagang,

 

15

15

15

15

15

Penerima Kebijakan

75

 

JUMLAH

 

 

260

                   

 

Penyebaran sampel rambang yang melibatkan 260 responden dilakukan dalam lima jenis responden, iaitu masyarakat ilmiah sebanyak 60 responden, masyarakat profesional sebanyak 30 responden, masyarakat kota sebanyak 75, lembaga swadaya masyarakat sebanyak 20 dan masyarakat dunia usaha sebanyak 75 responden.

 

Pengkajian persepsi penerima kebijakan dikembangkan melalui kuesioner yang meliputi permasalahan yang menyangkut lima variabel sebagai berikut: 1) perencanaan; 2) kelembagaan; 3) sumber daya manusia; 4) koordinasi dan 5) pendanaan.

 

 

 

III.             ASPEK PERENCANAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA JAKARTA  MENURUT PERSEPSI MASYARAKAT

Untuk menjawab kajian berkaitan dengan kajian aspek pengelolaan yang boleh menyumbang kepada keberhasilan pengelolaan ruang terbuka hijau, penulis telah melakukan analisis terhadap data yang diperoleh daripada kajian borang pertanyaan dan kajian wawancara.. Analisis elemen yang mempengaruhi aspek pengelolaan ruang terbuka hijau kota Jakarta, yaitu aspek perencanaan, aspek kelembagaan, aspek sumber daya manusia, aspek koordinasi dan aspek pendanaan, seperti tergambar pada gambar 3.0 dibawah ini

 

 

 

 

 

 

ASPEK YANG MEMPENGARUHI PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU

 

 

 

 

 

ASPEK

PERENCANAAN

ASPEK

KELEM

BAGAAN

ASPEK

SUMBER

DAYA

MANUSIA

ASPEK

KOORDINASI

ASPEK

PENDANAAN

 

 

 

 

ELEMEN

Faktor Fisik

Ekologi

Pertisipasi

Transparansi

Pembuat Keputusan

Evaluasi

Kuantitas

Kualitas

Tata Guna Lahan

Kewenangan

Keputusan

Informasi

Peran

Masyarakat

Peran

Swasta

Peran

Pemerintah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KAEDAH KAJIAN

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KAJIAN LITERATUR

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BORANG

PERTANYAAN

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

WAWANCARA

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KAJIAN PAKAR

TERPILIH

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TEORITIKAL

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

l

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

K  E  S  I  M  P  U  L  A  N

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                         

Gambar 3.0 Bagan Untuk Membandingkan Aspek Pengelolaan dalam kajian

(Sumber: Penyelidik, 2007)

 

a.             Elemen Fisik  dalam Aspek Perencanaan

            Berdasarkan hasil kuesioner ditinjau dari aspek perencanaan, diperoleh bahwa masyarakat kota Jakarta setuju (59 persen) yang menyatakan faktor keterbatasan ruang secara fisik menjadi kendala dalam perencanaan. Hal ini dikarenakan semakin berkurangnya luasan RTH yang dapat dicapai oleh pemerintah DKI Jakarta. Sementara itu, sebagian besar masyarakat tidak setuju apabila ruang terbuka yang ada dialih fungsikan untuk tata guna atau fungsi yang lain. Jumlah masyarakat yang tidak setuju alih fungsi ini mencapai 92 persen. Alih fungsi tersebut menjadikan kuantitas RTH semakin berkurang. Untuk menambah kualitas ruang terbuka hijau, maka masyarakat umumnya setuju untuk menanami pekarangan rumahnya dengan pepohonan untuk meningkatkan ekosistem setempat.

Gambar 3.1: Elemen fisik dalam aspek perencanaan

            Hubungan antara penurunan ruang terbuka hijau dan alih fungsinya dapat dikatakan sangat erat. Pada umumnya penurunan jumlah ruang terbuka hijau disebabkan alih fungsi. Berdasarkan perbandingan antara dua elemen fisik tersebut maka dapat disimpulkan masyarakat dalam hal ini penduduk kota Jakarta mengharapkan tidak adanya alih fungsi ruang terbuka hijau yang berakibat penurunan jumlahnya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Morancho (2003) yang menyatakan, ada hubungan yang sama antara fungsi ruang terbuka hijau kota dengan kualitas fisik kota.

 

b.      Elemen Ekologi dalam Aspek Perencanaan

            Elemen ekologi merupakan salah satu faktor penting dalam aspek perencanaan. Hal ini dapat dilihat dari persepsi masyarakat ruang terbuka hijau yang setuju akan pentingnya ruang terbuka hijau sebagai pembentuk kualitas ekologi kota. Dilihat dari empat pertanyaan yang diajukan menyangkut aspek ekologi maka keseimbangan ekologi merupakan faktor utama. Artinya kegunaan utama keberadaan ruang terbuka hijau menurut persepsi masyarakat adalah sebagai keseimbangan ekosistem kota. Hal ini dapat dilihat dari prosentase yang sangat setuju dan setuju mencapai 100 persen. Elemen ekologi lain yang menonjol dan dirasakan oleh masyarakat adalah pencemaran udara dan visual (sangat setuju dan setuju 90 persen). Pencemaran udara adalah faktor yang paling dirasakan akibat terjadinya ketidak seimbangan ekosistem kota. Elemen pencemaran udara mempunyai rangking kedua setelah kesadaran keseimbangan ekologi. Kedua hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Gambar 3. 2: Elemen ekologi dalam aspek perencanaan

            Komponen pertama (keseimbangan) dan kedua (pencemaran udara) merupakan salah satu bentuk hubungan sebab akibat, hal ini didukung komponen ketiga dan keempat sebagai komponen dominan yang dirasakan masyarakat yaitu penurunan ekosistem dan pemahaman arti penting fungsi ekologi. Komponen keindahan kota mempunyai jumlah prosentase yang paling kecil berkait dengan tingkat pemahaman masyarakat tentang fungsi visual kota untuk memberikan image kota Jakarta sebagai ibukota negara. Apabila dikaitkan dengan penelitian sebelumnya oleh Li et al. (2005) yang mengembangkan satu kerangka konseptual menyeluruh untuk ruang terbuka hijau di Cina dengan berbasis pada prinsip ekologi lansekap. Maka hal utama yang harus dilakukan adalah dalam aspek perencanaan RTH adalah menetapkan rencana induk ruang terbuka hijau kota secara jangka panjang, berkelanjutan dan berkarakteristik kota Jakarta. Dengan hasil kuesioner diatas maka prioritas yang harus dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekosistem kota adalah meningkatkan kualitas lansekap kota Jakarta yang ada, mencegah penurunan jumlah ruang terbuka dan mengusahakan bertambahnya kuantitas ruang terbuka hijau, agar fungsi ekologi kota dapat terpenuhi.

 

 

c.       Elemen Partisipasi dalam Aspek Perencanaan

Partisipasi masyarakat merupakan unsur utama perencanaan ruang terbuka hijau serta menjaga kualitasnya. Aspek perencanaan dalam pengelolaan ruang terbuka hijau kota berdasarkan persepsi masyarakat menyangkut hal yang berbau birokrasi artinya selama ini aspek perencanaan ruang terbuka hijau kurang di sosialisasikan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Dengan demikian pemerintah lebih cenderung menerapkan proses perencanaan top down atau dari pusat dibanding bottom up yang mengakomodasi keiinginan masyarakat.  Hal ini dapat dilihat dari prosentasi persepsi masyarakat yang pernah menerima sosialisasi perencanaan dari pemerintah hanya mencapai 20 persen, hanya sebagian kecil masyarakat yang pernah dimintai pendapatnya (public hearing) sebesar 28 persen. Ketidak jelasan peran serta masyarakat terlihat masih belum jelas sehingga terjadi perbedaan yang mencolok antara yang pernah dan tidak pernah terhadap faktor eksternal dalam hal ini masyarakat dalam perencanaan ruang terbuka hijau kota.  Apabila di bandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Breuste (2004) maka perencanaan akan menjadi efisien bila melibatkan masyarakat secara bersama-sama. Branch (1970) menekankan bahwa perencanaan harus dievaluasi terus menerus dan fleksibel dalam perencanaan ruang terbuka hijau kota. Pada area tertentu memang terdapat kewenangan pemerintah untuk merencanakan ruang terbuka hijau tetapi pada area lebih luas keterlibatan masyarakat merupakan hal yang mutlak agar perencanaan tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan menghadapi kompleksitas pertumbuhan kota.

Gambar 3.3: Elemen partisipasi dalam aspek perencanaan

           

Berdasarkan hasil kuesioner yang menyangkut elemen partisipasi terlihat bahwa keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) lebih jelas dibanding keterlibatan masyarakat.  Hal ini menunjukkan peran LSM di Jakarta dalam perencanaan ruang terbuka hijau cukup berguna dan diperhitungkan. Keterlibatan masyarakat masih kurang dapat dilihat dari prosentase aspek tanggapan dan pencapat yang diminta dalam perencanaan ruang terbuka hijau.  Sebanyak 72 persen masyarakat merasa tidak pernah diminta tanggapan dan pendapatnya untuk perencanaan ruang terbuka hijau.  Artinya partisipasi masyarakat adalah secara perwakilan dan bukan individu.  Hal ini terkait dengan sistem perencanaan yang masih harus diperbaiki menyangkut bagaimana keterlibatan masyrakat dapat secara menyeluruh terwakili. Apakah dengan penggunaan teknologi informasi yang memungkinkan masyarakat memberi saran secara aktif maupun dengan pemberian penghargaan atas partisipasi masyarakat.  

 

4.4.Elemen Keterbukaan dalam Aspek Perencanaan

            Elemen keterbukaan merupakan salah satu aspek perencanaan terutama di era sekarang ini. Masyarakat sudah mulai sadar dan menuntut keterbukaan pemerintah khususnya dalam pengelolaan kota. Hal ini dapat dilihat dari pendapat responden tentang keterbukaan sikap birokrasi dan penyebaran informasi perencanaan ruang terbuka hijau di kota Jakarta. Berdasarkan elemen keterbukaan dari sistem birokrasi dapat dilihat 86 persen masyarakat menyetujui hal tersebut. Sedangkan pada elemen informasi 72 persen masyarakat sangat setuju dan setuju terhadap keterbukaan informasi. Dilihat dari prosentase tersebut dapat di tengarai bahwa masyarakat mulai bersikap kritis terhadap keterbukaan rencana dan bukan hanya sekedar informasi saja artinya harus ada penjelasan lebih terhadap perencanaan ruang terbuka hijau.

Gambar 3. 4. Elemen keterbukaan dalam aspek perencanaan

Gambar 3. 5. Elemen keterbukaan dalam aspek perencanaan

 

Berdasarkan hasil kuesioner terlihat bahwa kendala utama dalam keterbukaan aspek perencanaan ruang terbuka hijau adalah sosialisasi. Aspek sosialisasi media informasi dapat dikatakan kurang karena hampir 78 persen responden mengatakan tidak pernah ada sosoalisasi rencana melalui media informasi. Meskipun pada aspek informasi hampir 56 persen mengatakan pernah mendengar tentang perencanaan ruang terbuka hijau. Hal ini didukung oleh fakta bahwa sebagian besar responden pernah menghadapi masalah dalam mencari data sekunder tentang rencana ruang terbuka hijau di kota Jakarta. Artinya secara informasi cukup memadai tetapi penjelasan lebih dalam tentang aspek perencanaan masih belum terbuka. Berdasarkan hasil diatas maka apabila dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan Chakrabarty (2001) maka persamaan yang ada adalah terdapat kemampuan reaksi sosial dan evaluasi sosial didalam perencanaan ruang terbuka hijau perkotaan. Artinya masyarakat sudah bersikap kritis yang diwujudkan dalam sikap reaksi dan evaluasi terhadap rencana pengelolaan ruang terbuka hijau kota. Hal ini menuntut pemerintah sebagai aktor perencanaan kota untuk tidak sekedar menyebarkan informasi tetapi memerlukan sosialisasi, sehingga intervensi dan peraturan pemerintah mempunyai kebebasan yang lebih besar dan fleksibilitas dalam meningkatkan kinerja sektor perkotaan secara keseluruhan.

 

 

 

IV.              KESIMPULAN

            Keberadaan ruang terbuka hijau kota Jakarta sangat ditentukan oleh perencanaannnya.  Tanggung jawab perencanaan ruang terbuka hijau tersebut idealnya di lakukan bersama antara pemerintah kota, swasta dan masyarakat. Penelitian ini mencoba menggali aspek-aspek perencanaan ruang terbuka hijau seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat.  Untuk membatasi aspek-aspek tersebut maka dilakukan kajian terhadap penelitian sebelumnya yang terkait dengan perencanaan ruang terbuka hijau.  Berdasarkan kajian terdahulu dapat disimpulkan aspek perencanaan ruang terbuka hijau meliputi aspek elemen fisik, ekologis, partisipasi dan keterbukaan. Aspek-aspek tersebut dijabarkan dalam bentuk pertanyaan kuesioner dan disebarkan pada masyarakat untuk mengetahui pemahaman dan pandangan mereka terhadap aspek perencanaan ruang terbuka hijau di Kota Jakarta. 

            Kejelasan elemen dalam aspek perencanaan menjadi hasil utama penelitian ini Aspek ini meliputi elemen–elemen pendukung dengan urutan terjelas sebagai berikut : elemen ekologi, elemen fisik, keterbukaan dan partisipasi.  Pada  komponen yang lebih rinci elemen ekologi yang berpengaruh meliputi keseimbangan ekologi, pencemaran udara, penurunan kualitas ekologi, fungsi ekologi dan terakhir teknologi.  Sedangkan elemen fisik meliputi penurunan jumlah dan alih fungsi lahan. Pada elemen keterbukaan maka komponen yang nampak jelas adalah perencanan dan informasi.  Terakhir adalah elemen partisipasi yang meliputi birokrasi dan masyarakat.

 

V.  DAFTAR PUSTAKA

 

  • Abbot, John. (1996), Sharing The City, Community Participation In Urban Management, Earthscan Publication, London.

 

  • Adolf Heuken SJ, (1997), Tempat Tempat Bersejarah di Jakarta, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta.

 

  • Allen, E., (2001). INDEX: software for community indicators. In:Brail, R.K., Klosterman, R.E. (Eds.), Planning Support Systems. ESRI Press, Redlands, pp. 229–261.

 

  • Ali, Saleem H. (2003), Environmental Planning and Cooperative Behavior – Catalyzing Sustainable Consensus. Journal of Planning Education and Research, 23: 165 – 176.

 

  • Barrett, G. and P. Bohlen., (1991), Landscape Ecology in Hudson, W. ed. Landscape Linkages and Biodiversity, Washington, DC: Island Press.

 

  • Butler Jd & James Rf, (1988), Landscape Management,  Van Nostrand Reinhold Co, NewYork

 

  • David L. Weimer dan Aidan R.Vining, (1989), Policy Analysis, Consept and Practice,

 

  • Gilbert, O.L., (1989). The Ecology of Urban Habitat. Chapman & Hall, London.

 

  • Giovanni Sanesi, Francesco Chiarello (2006) Residents And Urban Green Spaces: The Case Of Bari. Urban Forestry & Urban Greening 4:125–134

 

  • Hanafie, Jahya. (1996). Partisipasi Masyarakat Dalam Penyediaan Sarana Dan Pelayanan Perkotaan. Analisis sistem. Edisi khusus, tahun II, Januari.

 

  • Jim, C.Y., Chen, S.W., (2003). Comprehensive Green Space Planning Based On Landscape Ecology Principles In Compact Nanjing City, China. Landscape and Urban Planning 65, 95–116.

 

  • Liliawati, E, Mudjono, (1998), Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23  tahun 1997 tentang Pengurusanan Lingkungan Hidup,  Penerbit Harvarindo.

 

·         Malo, Manasse and P.J.M. Nas (1996)  ‘Queen city of the East and symbol of the nation: The administration and management of Jakarta.’ In J. Rüland (ed.), The dynamics of metropolitan management in Southeast Asia. Singapore: ISEAS. [in press]

 

  • Metropolitan Integrated Environment Programme, (1982). The Assesment of  Jakarta Greening Policy and Projects the Study and Exercise of Greening in Bukit Duri  KMP Pilot Area.  Jakarta

 

  • Miller, R., (1997), Urban Forestry. Planning and Managing Urban Greenspaces. Upper Saddle River: Prentice Hall.

 

  • Partowidagdo, Widjajono. (1999), Memahami analisis kebijakan. Kasus reformasi Indonesia. Penerbit Program Kajian Pembangunan Program Pascasarjana ITB, Bandung.

 

  • Pemerintah Daerah  Jakarta,  (1985).  Rencana Umum Tata Ruang   1985 – 2005. 

 

  • Repetti, A., Soutter,M., Musy, A., Radke, J., 2004. System for Monitoring Urban Functionalities (SMURF): instrument, method and application. In: Proceedings of the 42nd URISA Annual Conference, Reno, pp. 408–420.

 

·         Roman Cybriwsky dan Larry R. Ford, (2001) City profile Jakarta, Journal Cities Volume 18, Issue 3, hal 199-210

 

  • Salvador del Saz-Salazar, Pau Rausell-Koster, A Double-Hurdle (2007) Model Of Urban Green Areas Valuation:Dealing With Zero Responses. Landscape and Urban Planning

 

  • Simond, JO, (1997), Landscape Architecture: A Manual Of Site Planning And Design, McGraw-Hill Companies, Inc, NewYork-USA

 

  • Strauss, A. and Corbin, J. (1990). Basics of qualitative research: Grounded theory procedures and techniques. Sage Publications.

 

  • Stolte, W. (1995) From JABOTABEK to PANTURA. In: P.J.M. Nas (ed.), Issues in urban development: Case studies from Indonesia, pp. 228-245. Leiden: Research School CNWS.

 

  • Weimar, David.L and Aidan R. Vining. (1989), Policy analysis. Concepts and practice.Prentice-Hall International, Inc. New Jersey.

 

  • White, Rodney R, (1994), Urban Enviromental Management, John Wiley, New York.

 

 

 

UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA:

 

  • Undang-undang Nomor 11 Tahun 1990, tentang Kedudukan Jakarta Sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia.

 

  • Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1990, tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta.

 

  • Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992, tentang Perumahan dan Pemukiman.

 

  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

 

  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota

 

 

PERATURAN MENTERI, KEPUTUSAN MENTERI DAN INSTRUKSI MENTERI PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA:

 

  • Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987, tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota.

 

 

  • Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 650-1595 dan dan 503/KPTS/1985, tentang Tugas-tugas dan Tanggung Jawab Perencanaan Kota.

 

  • Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 640/KPTS/1986, tentang Perencanaan Tata Ruang Kota.

 

·         Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor  1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan

 

 

PERATURAN DAERAH KOTA JAKARTA

  • Keputusan Gubernur K Jakarta Nomor: BVII-3400/al/1976 tanggal 18 Mei 1976, sebagai penyempurnaan daripada pada SK sebelumnya, guna lebih meningkatkan layanan kepada masyarakat di bidang pembangunan taman-taman, tata hias kota dan penghijauan kota, agar terwujud suatu kota yang indah, teratur dan sehat.

 

  • Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 651 Tahun 1979 Tentang Kewajiban Para Pelajar Sekolah Dasar Dan Sekolah Lanjutan Untuk Membiakkan Tanaman Dan Menghijaukan Lingkungan Sekolah Pada Sekolah-Sekolah Di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta

 

  • Peraturan Daerah Nomor: 9 tahun 1982, tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertamanan  Jakarta yang disahkan oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 061.131-165, tanggal 13 April 1983.

 

 

One response

29 03 2009
Rully Besari B

Pertama saya sampaikan salut, kerana PhD anda sudah tamat, yang keduanya kalau saya tengok hasil kajian tidak/belum sesuai dengan tajuk penelitian anda, karena saya tidak melihat satupun indikator persepsi yang dapat dijadikan intrumen pengukuran persepsi…….semoga hasil kajian dapat dilengkapi atau disempurkan sehingga dapat memenuhi harapan bagi yang membacanya.

Leave a comment